DAFTAR LINK PENTING

Selasa, 23 Juli 2019

PENDIDIKAN BERBASIS HAK ANAK

Oleh : Mahbub Alwathoni
(Artikel sebelumnya pernah dimuat di Jawa Post 2015)

Pendidikan adalah hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.  Eksistensi dan esensi manusia hanya dapat dicapai ketika menusia dapat memahami dan menemukan dirinya sebagai makhluk yang berfikir.  Pendewasaan seseorang dan penentuan apakah ia bermoral ataupun tidak, berakhlak mulia atau tidak, cerdas atau tidak, hanya dapat ditentukan melalui pendidikan. Pendidikan juga merupakan  alat rekayasa sosial yang paling efektif untuk menyiapkan bentuk masyarakat masa depan.  Begitu pentingnya pendidikan sehingga hal ini harus menjadi tanggungjawab pribadi, masyarakat, bangsa dan negara.  
Sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyampaikan pengetahuan, melatih ketrampilan serta mendoktrin nilai-nilai, sekolah beserta perangkat-perangkat yang ada di dalamnya semestinya mampu menjadi filter atas nilai-nilai buruk yang mengiringi globalisasi.  Terlebih lagi kepada anak-anak yang merupakan entitas dinamis yang sangat rawan. Proses individuasi-nya berangkat dari interaksi serta perpaduan menyeluruh yang dialaminya dengan lingkungan dan kebudayaannya. Sayangnya, lembaga pendidikan justru tak mampu membaca kerawanan sosial ini, dan bahkan terseret menjadi lembaga yang kapitalis, feodal, dan anti-sosial. Faktanya terdapat praktek-praktek yang tidak “ramah anak”.  Biaya sekolah yang mahal, sistem pembelajaran yang pedagogies, diskriminasi, dan bahkan masih ada penggunaan kekerasan sebagai bagian dari punishment.
Berbasis Hak Anak
Untuk mendapatkan konsep pendidikan yang ramah pada anak, maka perlu ditinjau mengenai hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak (UU nomor 23 tahun 2002).
Pertama, kesadaran bahwa hak hidup merupakan hak yang fundamental bagi manusia. Hak ini merupakan pengakuan dan penghargaan terhadap hidup dan kehidupan sebagai satu kesatuan utuh yang patut dihargai dan dilindungi, sehingga tidak diperkenankan siapapun untuk merenggutnya, termasuk negara.  Perbedaan ras, warna kulit, bentuk fisik dan lain sebagainya merupakan sesuatu yang fundamen dan menjadi bagian dari dinamika kehidupan. Oleh karenanya bukan kekuasaan bagi seseorang untuk merampas kehidupan orang lain atau juga menganggap rendah yang lain.
Kedua, hak tumbuh kembang yang terkait dengan kesadaran manusia/ anak sebagai entitas yang terus berkembang sehingga penting untuk menjaga dan bahkan merangsang perkembangannya baik fisik maupun mental. Terlebih lagi anak-anak tersebut merupakan generasi penerus peradaban manusia yang nantinya akan melakukan perubahan-perubahan bagi dunia. Tidak menjaga apalagi merusak perkembangan mereka sama saja merusak peradaban manusia sendiri, yang tentu saja juga mempercepat kehancuran dunia.
Karena itu hak perlindungan menjadi kata wajib. Hak perlindungan lebih menekankan pada upaya proteksi atau perlindungan yang mengancam kehidupan dan perkembangan anak. Bukan hanya sekedar ancaman fisik, namun ancaman-ancaman berbentuk krisis moral, budaya, sosial serta politik.
Sedangkan keempat adalah partisipasi, yang sejatinya adalah penghargaan terhadap anak sebagai manusia yang mempunyai potensi dan kemampuan sehingga tugas pendidik hanya sebagai fasilitator untuk mengembangkannya. Meskipun kebijakan yang diterapkan pemerintah selama ini memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada lembaga sekolah untuk mengembangkan potensi lokal, namun keadaan riil dilapangan masih saja berpola lama,  sekolah hanya sekedar “ritual” interaksi anak didik dan pendidik yang kemudian diakhiri dengan menyelesaikan soal-soal untuk memperoleh lisensi pertanda berakhirnya “ritual” tersebut.
Kendala dan Harapan
Persoalan yang menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan yang berbasis hak anak ialah sebagian besar pendidik belum memahami sepenuhnya tentang hak-hak anak. Sangat sedikit pendidik yang kreatif dan mendedikasikan dirinya pada perkembangan dan pendidikan anak.  Metode-metode yang digunakan lebih banyak bersifat menggurui daripada membangkitkan potensi anak didik sendiri. Bahkan kebanyakan pendidik justru menampakkan wajahnya yang angkuh dan tak bersahabat, padahal semestinya ia menjadi orang tua bagi anak-anak di sekolah.
Peran lembaga pendidikan  seharusnya menjadi rumah perlindungan bagi anak didiknya,  namun kenyataanya banyak lembaga pendidikan  lebih terkesan seram, kaku dan eksklusif.  Hal ini bisa dilihat masih adanya lembaga pendidikan menerapkan sangsi dalam bentuk kekerasan.  Praktik-praktik Bullying sudah sepakat untuk dibersihkan dari lembaga pendidikan, namun justru dilegitimasi oleh sebagian lembaga pendidikan dalam menegakkan aturan tata tertib.  Ditambah lagi sebagian lembaga pendidikan yang masih memiliki “kegemaran” mengeluarkan anak didiknya dari sekolah ketika si-anak melanggar aturan tata tertib.  Lembaga pendidikan model seperti ini bukanlah lembaga pendidikan yang favorit,  karena  tidak sanggup mengemban tujuan pembangunan nasional dalam perbaikan akhlak, pendek kata tidak bisa menjadi “bengkel” moral dan akhlak.  “Mencaci dan mengusir demi pendidikan”, apakah kalimat ini bisa dibenarkan dalam dunia pendidikan?.
Untuk  mewujudkan pendidikan yang berbasis hak-hak anak, diperlukan pencerahan kembali bagi guru dan lembaga pendidikan.  Guru sebagai tenaga pendidik profesional sudah selayaknya menjunjung prinsip-prinsip profesionalitas dengan memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia  disertai dengan memahami betul tentang hak-hak anak, dengan menjadi orang tua yang baik di lingkungan sekolah, menjadi mediasi keilmuan, dan membidani lahirnya potensi-potensi anak.  Cahaya akhlak mulia yang dipancarkan oleh seorang guru, dengan sendirinya akan mengkondisikan suasana pembelajaran berlangsung dinamis, kondusif dan menyenangkan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal adalah tempat berlangsungnya interaksi sosial dan ke-ilmuan.  Untuk itu perlu diciptakan suasana yang penuh kekeluargaan dan menyenangkan bagi anak didik di sekolah.  Sangsi atas pelanggaran aturan tata tertib sekolah yang dibuat oleh lembaga pendidikan harus senantiasa memperhatikan aspek-aspek psikologis anak didik dan selalu mengedepankan humanisasi (memanusiakan manusia) dengan menjauhkan segala bentuk model kekerasan.  Masih banyak alternatif model-model pemberian sangsi yang lebih manusiawi dan sekaligus mendidik. 
Demikian juga  keberadaan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), untuk lebih diperdayakan dalam membangun kepribadian dan mengembangkan potensi-potensi  anak,  serta memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkreatifitas sesuai harapan anak.  Bukan sebaliknya menjadi perpanjangan tangan lembaga pendidikan untuk memaksa kehendaknya yang justru mengebiri hak-hak anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar Pertanyaan Untuk Postingan Ini