Oleh : Mahbub Alwathoni
(Artikel sebelumnya pernah dimuat di Jawa Post 2015)
Pendidikan adalah hal yang sangat penting dan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia.
Eksistensi dan esensi manusia hanya dapat dicapai ketika menusia dapat
memahami dan menemukan dirinya sebagai makhluk yang berfikir. Pendewasaan seseorang dan penentuan apakah ia
bermoral ataupun tidak, berakhlak mulia atau tidak, cerdas atau tidak, hanya
dapat ditentukan melalui pendidikan. Pendidikan juga merupakan alat
rekayasa sosial yang paling efektif untuk menyiapkan bentuk masyarakat masa
depan. Begitu
pentingnya pendidikan sehingga hal ini harus menjadi tanggungjawab pribadi,
masyarakat, bangsa dan negara.
Sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyampaikan pengetahuan, melatih
ketrampilan serta mendoktrin nilai-nilai, sekolah beserta perangkat-perangkat
yang ada di dalamnya semestinya mampu menjadi filter atas nilai-nilai buruk
yang mengiringi globalisasi. Terlebih
lagi kepada anak-anak yang merupakan entitas dinamis yang sangat rawan.
Proses individuasi-nya berangkat dari interaksi serta perpaduan menyeluruh yang
dialaminya dengan lingkungan dan kebudayaannya. Sayangnya, lembaga pendidikan
justru tak mampu membaca kerawanan sosial ini, dan bahkan terseret menjadi
lembaga yang kapitalis, feodal, dan anti-sosial. Faktanya terdapat
praktek-praktek yang tidak “ramah anak”. Biaya sekolah yang mahal, sistem pembelajaran
yang pedagogies, diskriminasi, dan bahkan masih ada penggunaan kekerasan
sebagai bagian dari punishment.
Berbasis Hak Anak
Untuk mendapatkan
konsep pendidikan yang ramah pada anak, maka perlu ditinjau mengenai hak-hak
anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak (UU
nomor 23 tahun 2002).
Pertama, kesadaran bahwa hak hidup merupakan hak
yang fundamental bagi manusia. Hak ini merupakan pengakuan dan penghargaan terhadap
hidup dan kehidupan sebagai satu kesatuan utuh yang patut dihargai dan
dilindungi, sehingga tidak diperkenankan siapapun untuk merenggutnya, termasuk
negara. Perbedaan ras, warna kulit, bentuk
fisik dan lain sebagainya merupakan sesuatu yang fundamen dan menjadi bagian
dari dinamika kehidupan. Oleh karenanya bukan kekuasaan bagi seseorang untuk
merampas kehidupan orang lain atau juga menganggap rendah yang lain.
Kedua, hak tumbuh kembang yang terkait dengan kesadaran manusia/ anak sebagai
entitas yang terus berkembang sehingga penting untuk menjaga dan bahkan
merangsang perkembangannya baik fisik maupun mental. Terlebih lagi anak-anak
tersebut merupakan generasi penerus peradaban manusia yang nantinya akan
melakukan perubahan-perubahan bagi dunia. Tidak menjaga apalagi merusak
perkembangan mereka sama saja merusak peradaban manusia sendiri, yang tentu
saja juga mempercepat kehancuran dunia.
Karena itu hak perlindungan menjadi kata wajib. Hak perlindungan lebih
menekankan pada upaya proteksi atau perlindungan yang mengancam kehidupan dan
perkembangan anak. Bukan hanya sekedar ancaman fisik, namun ancaman-ancaman
berbentuk krisis moral, budaya, sosial serta politik.
Sedangkan keempat adalah partisipasi, yang sejatinya adalah
penghargaan terhadap anak sebagai manusia yang mempunyai potensi dan kemampuan
sehingga tugas pendidik hanya sebagai fasilitator untuk mengembangkannya.
Meskipun kebijakan yang diterapkan pemerintah selama ini memberikan ruang yang
seluas-luasnya kepada lembaga sekolah untuk mengembangkan potensi lokal, namun
keadaan riil dilapangan masih saja berpola lama, sekolah hanya sekedar “ritual” interaksi anak
didik dan pendidik yang kemudian diakhiri dengan menyelesaikan soal-soal untuk
memperoleh lisensi pertanda berakhirnya “ritual” tersebut.
Kendala dan Harapan
Persoalan yang menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan yang berbasis hak
anak ialah sebagian besar pendidik belum memahami sepenuhnya tentang hak-hak
anak. Sangat sedikit pendidik yang kreatif dan mendedikasikan dirinya pada perkembangan
dan pendidikan anak. Metode-metode yang
digunakan lebih banyak bersifat menggurui daripada membangkitkan potensi anak
didik sendiri. Bahkan kebanyakan pendidik justru menampakkan wajahnya yang
angkuh dan tak bersahabat, padahal semestinya ia menjadi orang tua bagi
anak-anak di sekolah.
Peran lembaga pendidikan seharusnya
menjadi rumah perlindungan bagi anak didiknya,
namun kenyataanya banyak lembaga pendidikan lebih terkesan seram, kaku dan
eksklusif. Hal ini bisa dilihat masih
adanya lembaga pendidikan menerapkan sangsi dalam bentuk kekerasan. Praktik-praktik Bullying sudah sepakat untuk dibersihkan dari lembaga pendidikan,
namun justru dilegitimasi oleh sebagian lembaga pendidikan dalam menegakkan
aturan tata tertib. Ditambah lagi
sebagian lembaga pendidikan yang masih memiliki “kegemaran” mengeluarkan anak
didiknya dari sekolah ketika si-anak melanggar aturan tata tertib. Lembaga pendidikan model seperti ini bukanlah
lembaga pendidikan yang favorit,
karena tidak sanggup mengemban
tujuan pembangunan nasional dalam perbaikan akhlak, pendek kata tidak bisa
menjadi “bengkel” moral dan akhlak.
“Mencaci dan mengusir demi pendidikan”, apakah kalimat ini bisa
dibenarkan dalam dunia pendidikan?.
Untuk mewujudkan pendidikan yang
berbasis hak-hak anak, diperlukan pencerahan kembali bagi guru dan lembaga
pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidik profesional sudah selayaknya menjunjung
prinsip-prinsip profesionalitas dengan memiliki komitmen untuk meningkatkan
mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia disertai dengan memahami betul tentang
hak-hak anak, dengan menjadi orang tua yang baik di lingkungan sekolah, menjadi
mediasi keilmuan, dan membidani lahirnya potensi-potensi anak. Cahaya akhlak mulia yang dipancarkan oleh
seorang guru, dengan sendirinya akan mengkondisikan suasana pembelajaran
berlangsung dinamis, kondusif dan menyenangkan.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal adalah
tempat berlangsungnya interaksi sosial dan ke-ilmuan. Untuk itu perlu diciptakan suasana yang penuh
kekeluargaan dan menyenangkan bagi anak didik di sekolah. Sangsi atas pelanggaran aturan tata tertib
sekolah yang dibuat oleh lembaga pendidikan harus senantiasa memperhatikan
aspek-aspek psikologis anak didik dan selalu mengedepankan humanisasi
(memanusiakan manusia) dengan menjauhkan segala bentuk model kekerasan. Masih banyak alternatif model-model pemberian
sangsi yang lebih manusiawi dan sekaligus mendidik.
Demikian juga keberadaan Organisasi Siswa Intra Sekolah
(OSIS), untuk lebih diperdayakan dalam membangun kepribadian dan mengembangkan
potensi-potensi anak, serta memberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk berkreatifitas sesuai harapan anak.
Bukan sebaliknya menjadi perpanjangan tangan lembaga pendidikan untuk
memaksa kehendaknya yang justru mengebiri hak-hak anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis Komentar Pertanyaan Untuk Postingan Ini